Rabu, 31 Oktober 2018

SORGUM: Mengubah Daerah Kurang Produktif DI TEPUS

Sorgum 
Lahan di Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, minim hara dan lapisan atas tanah amat tipis. Sudah begitu curah hujan rendah. Itu bukan aral bagi para petani untuk menanam sorgum Sorghum bicolor. Mereka membudidayakan komoditas anggota famili Poaceae tu di lahan 2 ha di 3 lokasi terpisah, yakni di Dusun Ngudal seluas 0,5 ha, Plemahan (0,75 ha), dan Toyarati (0,75 ha). Bibit berasal dan Badan Tenaga Nulir Nasional )Batan). Dalam 6—7 pekan, kerabat padi itu tumbuh setinggi orang dewasa. Dua bulan pasca tanam, sorgum mulai berbunga meski kemarau menyengat. Ketikatanaman anggota famili rumput-rumputan itu berumur 4 bulan, petani memanen bulir sorgum sebagai bibit untuk penanaman berikutnya. Dari kejauhan, permukaan perbukitan di Tepus yang biasanya kering dan cokelat berdebu, pada musim kemarau 2013 tampak hijau. Sorgum terbukti adaptif di daerah beriklim kering dan curah hujan rendah.

Benih
Penanaman sorgum irit benih maupun pupuk. Sehektar lahan hanya memerlukan 4,5—5 kg benih dengan jarak 15 cm antar tanaman dan 70 cm antar baris. Total populasi 95.000 tanaman per ha. Petani menanam dengan menugal alias tanam benih langsung. Lantaran menanam di permulaan kemarau, petani menyiram 0,25 liter air per tanaman setiap 3 hari sampai tanaman berumur 21 hari setelah tanam (hst). Selanjutnya, sorgum setinggi 0,5—0,75 m tu tidak perlu penyiraman sampai panen pada umur 4 bulan.

Para petani di Gunung Kidul hanya memberikan pupuk kandang kotoran sapi. Mereka membenamkan 100 kg pupuk kandang per ha sebelum tanam, Kemudian mereka mengulang pemupukan setiap 2 pekan sampai tanaman berumur sebulan. Sebetulnya periset di Badan tenaga Nuklir Nasional (Batan), Prof Soeranto Human. menganjurkan pemberian pupuk secara berkala. Para petani memperoleh benih dan Soeranto Human. Menurut Soeranto pupuk sintetis tu berupa 100 kg Urea, 60 kg TSP, dan 60 kg KCI per ha. Pemberian 3 kali: sepertiga ketika tanam, sepertiga ketika tanaman berumur 3 minggu, sisanya ketika tanaman berumur 7 pekan.

Petani membenamkan pupuk di larik antar baris lalu menutup kembali dengan tanah. Tanaman berbunga 2 bulan pasca tanam. Pada 80 hst alias seminggu menjelang panen, bulir-bulir sorgum ranum itu mengundang kawanan burung untuk datang menyambangi. Untuk melindungi bulir, petani mengerudungi tangkai bulir. Hama lain seperti belalang diusir secara manual atau menggunakan biopestisida racikan mahasiswa Universitas Gunung Kidul, yang antara lain terbuat dan biji mimba dan bawang putlh. Pada bulan ketiga pascatanam, petani memanen bulir-bulir sorgum.

Panen pertama pada Juli-Agustus 2012 ¡tu menghasilkan hampir 3 ton bulir dan lahan 0,5 ha. Para petani memanfaatkan bulir-bulir itu menjadi benih untuk penanaman berikutnya. Sampai sekarang, lembaga swadaya masyarakat Kelompok Tani Muda Mandiri (KTMM) di Gunung Kidul terus memperbanyak benih untuk memperluas penanaman. Petani memanfaatkan daun untuk pakan ternak sejak tanaman berumur 3—4 pekan alias setinggi 1 m.

Mandiri
Periset dl Batan, Prof Soeranto Human menguji multilokasi 4 varian sorgum hasil iradiasi: pahat patin-9, patir-11, dan patir-13. Peruntukan keempatnya berbeda. Pahat menghasilkan bulir terbanyak, lebih dan 6 ton per ha sehingga cocok untuk pangan (lihat tabel: Pangan, Pakan, Energi). Adapun patir-1 1 dan patir-13 cocok untuk pakan ternak dan bioetanol lantaran memiliki batang setlnggi lebih dan 3 m. Patin-11 bahkan menghasilkan lebih dari 31 ton biomassa per ha.

Sejak menanam sorgum, para petani berhenti mendatangkan daun atau batang jagung dan luar daerah seperti Bantul, Sleman, atau Klaten untuk pakan ternak sapi. Setiap sapi berbobot di atas 200 kg memerlukan 20 ikat daun jagung seharga Rp5.000 per ikat Menurut Drs Ag Pat Madyana MSI, pengajar Universitas Gunung Kidul, Biaya pakan selama 6 bulan musim kemarau mencapai Rp18-juta. Itu setara harga sapi dewasa berbobot . 600 kg. Masyarakat menjadikan sapi sebagai investasi, tetapi mereka tidak sadar biayanya lebih mahal ketimbang harganya, kata Pat.

Selain itu, mustahil bertani ketika kemarau. Hanya singkong yang ditanam pada awal musim hujan yang mampu bertahan. Namun, pertumbuhan singkong pun tidak optimal. Setiap tanaman paling banter hanya menghasilkan 2 kg umbi setahun pasca tanam. Wajar kalau orang lantas menganggap Gunung Kidul, utamanya Kecamatan Tepus, sebagai daerah minus dan tertinggal. Setiap tahun warga beramai-ramai menjadi urban di kota besar, meninggalkan tanah kelahiran mereka sehingga menjadi daerah sepi dan terbelakang.

Kini setelah penanaman sorgum, mereka memanfaatkan daun dan batang sorgum hasil penanaman sendiri. Belanja masyarakat untuk pakan pun bisa teralihkan untuk biaya sekolah anak, biaya pengadaan sarana dan produksi pentanian (saprotan) untuk penanaman sorgum pada musim hujan, serta peningkatan kualitas hidup. Penanaman sorgum juga mengubah wajah Kecamatan Tepus menjadi ijo royo-royo pada musini kemarau. Kelak sorgum akan perkebunan menghijaukan seluruh pelosok Kabupaten Gunung Kidul, mengubah imaji kening dan tandus menjadi hijau dan subur.

Harap maklum selema ini Gunung Kidul identik dengan daerah tandus dan kering. Air menjadi banang langka dan berharga. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, masyarakat mengandalkan air Sungai Oye yang mengalir di Gunung Kidul. Mereka berjalan menuruni tebing sungai, memenuhi jerigen berkapasitas 20 liter, lalu pulang dengan memanggulnya. Kondisi itu berubah sejak 2012 ketika para petani menanam sorgum. Penanaman Sorghum bicolor itu semula hanya di lahan seluas 2 ha di 3 lokasi terpisah. Kmh penanaman sorgum meluas, hingga 4 ha. (Achid Supriyatno, pemerhati Iingkungan di Gunung Kidul,Yogyakarta)


SHARE THIS

Author:

Mari berbagi pengetahuan penting dan unik lainnya yang ada dibumi ini.

0 komentar: