Dari ujung timur Pulau jawa, truk itu mengangkut cabai segar usai panen. Tujuannya memasok sebuah industri saus tersohor di Jakarta. Sayang, ketika truk tiba di lokasi tujuan, industri itu menolak 5 ton cabai yang membusuk. “Ternyata kiriman itu busuk akibat patek,” ungkap Dadang Wahyu Iriana, pekebun cabai di Sukabumi, Jawa Barat, yang ada di perusahaan itu ketika truk dan Banyuwangi itu tiba. Si pengirim terpaksa menjual cabai itu kepada penampung di luar pabrik.
Mereka khusus menampung cabai afkir dengan harga murah. Dan harga normal saat itu Rp20.000 per kg, penampung membanting harga Rp3.000 per kg. “Pengirim rugi sampai Rp 85-juta, belum termasuk ongkos angkut,” kata Dadang. Cendawan Colletotrichum capsici penyebab patek atau antraknosa, bahkan masih menyerang cabai usai panen.
Peneliti cabai dan Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor, Dr Muhamad Syukur SP MS menuturkan cendawan itu mampu bertahan pada cabai yang sudah dipanen dan disimpan. “Jika bijinya dijadikan benih maka generasi berikutnya pasti terkena patek juga,” kata Syukur.
Gejala
Serangan di lahan tak kalah ganas sebagaimana kejadian di lahan Sudiyono, pekebun di Ngadirejo, Temanggung, Jawa Tengah. Sebanyak 1.200 tanaman rusak dan buahnya tidak layak jual. “Saya hanya bisa panen cabai dan 1.800 tanaman yang tersisa,” katanya. Kegagalan itu lantaran ia tidak menguasai teknik budidaya cabai yang tepat. Maklum, sebelumnya la menanam jagung dan tembakau. Dengan harga jual cabai merah di pasaran saat itu Rp 4.000 per kg, omzet Sudiyono hanya Rp 5,7-juta. Padahal, bila semua tanaman bisa dipanen, omzet melambung Rp9,6- juta.
Syukur menuturkan serangan antraknosa meluas di dataran rendah maupun tinggi. “Tanpa pengendalian, pekebun bisa gagal panen,” katanya. Cendawan menyerang semua bagian tanaman, terutama buah. Gejala awal serangannya berupa bintik-bintik hitam di permukaan buah. Kecambah yang terserang bakal rebah, sedangkan tanaman dewasa bakal mati pucuk dan busuk kering di daun dan batang. Serangan di buah menyebabkan busuk seperti layu kepanasan akibat sengatan matahari lalu menghitam dan basah.
Rinda Kirana SP MP, peneliti cabai di Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Bandung,Jawa Barat, menuturkan pencegahan serangan antraknosa dimulai sejak pemilihan benih yang bebas penyakit. Di pasaran banyak terdapat varietas tahan antraknosa. “Lakukan budidaya intensif meliputi pemupukan, penyiangan, dan aplikasi rutin pestisida,” ujarnya. Pemupukan intensif mencegah serangan antraknosa karena daya tahan tanaman kuat, Untuk membentengi tanaman dan gempuran makhluk mini itu, pekebun dapat menggunakan fungisida berbahan aktif mankozeb dan klorotalonil.
Budidaya intensif itulah yang kini dilakoni Sudlyono. la mengikuti anjuran PT Kalatham dalam mengatasi serangan patek sejak musim tanam pada 2013. Hasilnya, nyaris 100% tanaman bebas patek. Padahal, pekebun lain di sekitar lahannya terserang patek sehingga mengalami kerugian sangat tinggi, hingga 40—50%. “Kuncinya membentengi tanaman sejak dini,” kata Sudiyono. Hasilnya, ia sukses menuai 2,25 ton dari 2.500 tanaman.
Fungisida
Sebelum tanam, Sudiyono membenamkan 300 kg kapur pertanian dan 600 kg pupuk organik yang mengandung kadar C-organik tinggi per ha. Selain itu, ia juga menebar 60 kg pupuk Phonska dan 1 kg zat perangsang tumbuh. Pria 33 tahun itu membuat bedengan setinggi 50 cm dengan lebar 80 cm. Jarak antar guludan 120 cm agar saat musim hujan air cepat terbuang. Jarak tanam 50 cm X 50 cm membuat cendawan enggan bersarang. “Tak kalah penting, semprotkan fungisida secara berkala,” katanya.
Sudiyono mulai melakukan pencegahan sejak tanaman berumur 20 hari setelah tanam (hst). Untuk mencegah serangan antraknosa, ia menyemprotkan fungisida sistemik berbahan aktif benomil sebanyak 10 gram dalam 14 liter air, la menyemprotkan setiap sepuluh hari hingga tanaman berumur 80 hari. Ketika tanaman berumur 90 hari, Sudiyono menambahkan pestisida berbahan aktif maneb 70% dan zineb 8%, sebanyak 15 gram hingga 120 hari.
0 komentar: