Sukis Murdi girang
bukan main pada Maret 2014. Belasan tahun menjadi petani padi baru kali ¡tu ia
memanen 11 ton gabah kering per hektar. Pada penanaman sebelumnya,
paling-paling ia memanen 6 ton per hektar. Petani di Kendal, Jawa Tengah, itu
memang mengganti benih. Pada penanaman terakhir ia memanfaatkan benih Padi
toyoarum. Sukis memperoleh toyoarum dan petani sekaligus produsen benih di Pasuruan,
Jawa Timur, Suryawan.
Saya tertarik
menanam toyoarum karena produktivitasnya tinggi, lebih 13 ton per hektar,” ujar
petani padi sejak 1999 itu. Suryawan mendapat benih toyoarum dari seorang
petani padi di Kejayan, Kabupaten Pasuruan, pada 2008. Menurut Suryawan, petani
padi di Kejayan itu mendapat benih dari petugas lapang asal Jawa Tengah.
Asal-usul padi toyoarum hanya terlacak sampai di situ. Penangkar dan induk yang
digunakan hingga menghasilkan toyoarum belum terungkap.
Tersebar
Suryawan tertarik
padi itu lantaran bermalai panjang dengan bulir padi banyak, mencapai 400 bulir
per malai. Jumlah bulir padi pada umumnya 150 buah per maIi. Namun saat itu ja
mendapat informasi bahwa malai padi itu banyak yang kosong. Yang terisi hanya
sekitar 60% dari total bulir sekitar 400-an,” ujarnya. Menurut peneliti padi
dan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Prof Dr Ir Baehaki Suherlan
Effendie, penyebab bulir padi tidak berisi ada 3 faktor. Ketiga faktor itu
adalah terlalu tinggi menggunakan pupuk nitrogen, faktor iklim yaitu hujan
terus-menerus atau sinar matahari terlalu terik, serta faktor genetik karena
warisan induknya.
Penggunaan pupuk
nitrogen berlebih menyebabkan tanaman lebih fokus meningkatkan pertumbuhan daun
atau vegetatif sementara pengisian bulir atau generatif menjadi kurang
maksimal,” tutur Prof Baehaki.
Suryawan menanam
benih toyoarum di sawah 4.000 m2. Sebelumnya ia menyemai terlebih dahulu benih
itu selama 20 hari.
Ayah 1 anak itu
memberikan total 150 kg Urea dan 50 kg SP-36. Frekuensi pemberian 2 kali dalam
satu musim tanam, yakni pada umur 20 hari dan 35 hari setelah tanam. Untuk
mengatasi serangan hama penggerek batang, Suryawan merebus 2 kg insektisida
butiran berbahan aktif karbofuran dengan 2 liter air hingga tersisa 1,5 liter.
Tujuannya agar insektisida mudah larut. la kemudian mengencerkan per 200 ml
larutan itu dengan 14 liter air bersih. Suryawan menyemprotkan 2 pekan sekali
hingga panen.
Suryawan memanen 4,8
ton di lahan 4.000 m2, sementara pengalamannya menanam jenis lain seperti
ciherang hanya 2,5 ton. Menurutnya dan segi rasa, nasi toyoarum hampir mirip
ciherang, tapi toyoarum lebih gurih. Suryawan membuktikan bahwa padi toyoarum
hasil budìdayanya justru banyak yang terisi. “Malainya pun berisi hingga 90%,”
ujarnya. Itu yang menyebabkan produksinya melonjak tajam. Dari panenan itu,
kemudian benih toyoarum tersebar ke petani petani di Jawa Timur, Jawa Tengah,
hingga Aceh. Padi itu pula yang Sukis tanam. Menurut Sukis budidaya padi
toyoarum sama saja dengan padi jenis lain. Mula-mula Sukis mengolah tanah sawah
dengan menggunakan alat bajak li memberikan pupuk dasar 600 kg pupuk kandang
per ha. Setelah itu ia menyemprotkan 2 liter dekomposer yang dicampur dengan 14
liter air ke lahan.
Rebus insektisida
Sukis mempersiapkan
persemaian benih toyoarum. Ia menyemprotkan pupuk organik cair untuk bibit di
persemaian. Pemberian pupuk organik cair 2 kali saat tanaman berumur sepekan
dan 17 hari. Konsetrasi pupuk 30 ml pupuk organik cair dalam 14 liter air. Setelah
itu, ia menanam bibit padi berumur 20 hari. Jarak tanam 20 cm x 20 cm. Saat
tanaman berumur 40 hari, Sukis memberikan pemupukan susulan berupa 100 kg SP
36, dan 100 kg Urea untuk lahan sehektar. Selang 10 hari ia menaburkan 1,5
kuintal ZA, 100 kg SP-36, dan 100 kg KCL. Pemupukan terakhir 10 hari berikutnya
dengan pemberian 600 ml pupuk organik cair yang dicampur dengan 168 Iiter air.
Untuk pengendalian
hama, Sukis menggunakan insektisida berbahan aktif metomil berkonsentrasi 25 g
per 14 I air. Penyemprotan pestisida itu dilakukan jika ada serangan hama. Pada
umur 110 hari setelah tanam, Sukis memanen sebanyak 11 ton per hektar. Menurut
Sukis, toyoarum unggul dalam jumlah malai dan anakanya, yakni 400 bulir dan
25—30 anakan. Bandingkan dengan jenis lain seperti IR-64 yang hanya 15—20
anakan dari 135—150 bulir.
Menurut Sukis biaya
produksi membudidayakan padi toyoarum sama dengan padi lain. Biaya produksi
toyoanum per hektar Rp6-juta, jenis lain juga Rp6-juta,” kata Sukis. Dengan
harga gabah kering di tingkat petani sebesar Rp3.900 per kg, omzet Sukis
mencapai Rp42.900.000. itu lebih tinggi dibanding bila membudidayakan jenis
padi sebelumnya yang hanya menghasilkan Rp23.400.000.
Prof Baehaki belum
pernah mendengar padi toyoarum, tapi dengan produktivitasnya yang sanggup
mencapai 11 ton per hektar, “Padi toyoarum termasuk padi dengan produktivitas
sangat tinggi.” Menurutnya produktivitas rata-rata nasional saja masih sekitar
5,6 ton per hektar, sehingga padi itu layak dikembangkan. (Bondan Setyawan/ Peliput: Riefza
Vebriansyah)
0 komentar: